Akhirnya setelah berkuasa selama 42 tahun sang Pemimpin Libya yang flamboyan ini jatuh dari tampuk kekuasaannya dan tewas secara tragis oleh rakyat yang dipimpinnya sendiri. Rakyat yang memberontaknya disebut “tikus-tikus” ternyata Khadafi tertangkap di lubang saluran air tempat para tikus-tikus tinggal.
Kegembiraan menyelimuti rakyat Libya, mereka merasa bebas atas tirani sang Kolonel Moammar Khadafi tetapi ada juga yang menyimpan duka atas wafatnya beliau. Bagaimanapun juga beliau adalah warga negara terbaik Libya yang telah memimpin negara ini dan pantaskah “dady” Khadafi mendapat “pengadilan jalanan” oleh rakyatnya hanya karena berdasarkan rasa dendam atas kepemimpinannya selama ini.
Agama berfungsi memberikan jalan dan petunjuk ke arah yang benar, pantaskah nama Tuhan dikumandangkan sambil menyeret Khadafi yang masih hidup dan mengarak mayatnya keliling kota. Hati saya terasa teriris bagaimana nama Tuhan yang selalu dilantunkan di tempat suci dengan badan suci agar kita dapat mendekatkan-Nya kali ini dilontarkan dengan begitu semangatnya diliputi rasa dendam yang membara. Khadafi diseret menuju mobil truk dengan muka yang berlumuran darah tanpa ada yang merasa kasihan sedangkan sayup-sayup terdengan sebutan nama Tuhan yang menggelorakan menambah semangat ingin menyiksa Khadafi.
Haruskah nama Tuhan disebutkan ketika perbuatan penyiksaan itu dilakukan, mengapa tidak menyebut nama setan karena perbuatan itu adalah perbuatan seperti kelakuan setan. Adakah yang salah dengan penafsiran agama sedangkan jelas-jelas agama sangat mencintai perdamaian. Sebuah perenungan atas kegembiraan rakyat Libya terbebas dari pemimpin diktator Khadafi dan bagi kita rakyat Indonesia ini adalah sebuah pelajaran berharga karena kita pun masih setali tiga uang bertingkah sama seperti mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar