Berbicara tentang emansipasi wanita pastilah berbicara tentang R.A. Kartini sebagai pelopor dengan pemikirannya dalam memperjuangkan hak wanita agar bisa sederajat dengan laki-laki. Peranan wanita dewasa ini sudah meliputi aspek kehidupan, wanita Indonesia sudah ada yang menjadi presiden, menteri, gubernur, sopir busway bahkan tukang ojek. Apakah ini sudah sejalan dengan pemikiran seorang R.A. Kartini ?
Banyak wanita Indonesia yang telah mencapai puncak karirnya, jabatan yang tinggi dan kedudukannya bukan lagi sejajar dengan laki-laki tapi sudah di atasnya. Gelar yang berderet di depan dan belakang nama seorang wanita dapat dengan mudah kita lihat di sekitar kita, tapi bagaimana dengan anak di rumah ? Ternyata di serahkan oleh seorang “pembantu” yang notabene hanya lulusan SD bahkan tidak tamat. Wanita adalah tiang negara, terbayangkah bila tanpa tiang ? Kalau semua ingin maju ke depan bagaimana yang dibelakang bukankah tidak terurus ?
Wanita dan pria tetaplah tidak sama, di lihat dari fisiknya saja pastilah beda. Wanita dan pria diciptakan bukan untuk bersaing tapi saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan saling menghargai hak dan kewajibannya. Dalam pemikirannya laki-laki lebih mengandalkan logika sedangkan wanita lebih ke arah perasaan, bukankah ini perpaduan yang unik dalam membina sebuah keluarga. Laki-laki tetap sebagai pemimpin rumah tangga dan wanitanya dengan naluri keibuannya mendidik sang buah hati.
Dalam hal ini saya tidak menyalahkan seorang wanita untuk bekerja dalam membantu ekonomi rumah tangga, tetapi bagaimanapun juga wanita mempunyai kodrat dasar yaitu melahirkan, menyusui dan menstruasi. Kodrat dasar itulah yang harus dipahami oleh seorang wanita dan harus dimengerti oleh seorang laki-laki.
Coba anda bayangkan ! Seorang wanita yang lulusan S2 atau S3 tapi anaknya diserahkan oleh seorang pembantu yang pendidkannya jauh dari wanita tersebut, lalu pendidikan yang telah ditempuhnya dapatkah “tertularkan” ke anak-anak ?. “Bukan intensitas ketemu anaknya tapi kualitasnya”, begitu pastinya jawaban seorang wanita karir. Bagaimana ternyata anaknya menjadi “binal”, bukan materi yang berlimpah membuat anak senang tapi juga kasih sayang yang tulus yang diberikan oleh orang tuanya terutama seorang ibu.
Inikah namanya emansipasi wanita, mengejar karir tapi yang ironis merendahkan wanita itu sendiri dengan mempekerjakan seorang wanita sebagai pembantu untuk mengasuh anak-anaknya. Yang parahnya lagi ternyata pembantunya itu punya anak yang “dititipkan” ke neneknya. Sebuah “esrafet” penyerahan tanggung jawab, R.A. Kartini mungkin hanya bisa tersenyum.
Illustrasi Mbah Google