Dendam kesumat menghantarkanku di losmen tua ini. Sebuah kamar dengan cat yang kusam disinari lampu pijar yang temaram. Kipas angin berputar menyeka keringat kita berdua. Kipas angin itu telah menyejukkan permainan kita yang panas. Permainan penuh nafsu dihiasi dendam dengan disaksikan iblis yang terus tertawa hingga permainan ini tuntas.
Tak terdengar lagi arungan desahan yang menggairahkan yang ada hanya raut muka penuh nista dihiasi cucuran keringat dosa. Dalam dekapan tanpa sehelai benang ku tatap wajah itu, wajah seorang gadis dengan sepasang bola mata yang indah. Wajah yang lugu tapi tidak untukku. Wajahnya memberikan sketsa tentang bapaknya yang telah berselingkuh dengan ibuku hingga keluargaku terpisah dan aku pun limbung.
Ku kecup keningnya dan aku tersenyum dan dia pun tersenyum. Dalam senyum tak kutampik rasa dendam yang telah kudapatkan. Ini dendam ibuku, ini dendam adikku dan ini dendam aku. Sebuah jalan menyimpang dan ku sadari tapi ini adalah caraku karena ku tahu bukan hanya aku saja yang telah menikmati keindahan lekuk tubuhmu. Aku tersenyum dan dia pun tersenyum. Perpisahan dengan sebuah senyuman, yang ku tahu arti senyumku tapi tak kutahu arti senyummu.
Dalam ruang putih bersih ku tatap langit-langit yang berwarna putih juga. Terbaring lemas aku dengan tubuh berselimut kain putih. Aku tersenyum dan dia pun tersenyum. Ternyata aku baru tahu jawaban senyumanmu setelah ku sadari bahwa aku terkena virus HIV.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar